Maaf lama ga muncul dan memposting apa-apa , selama 2 minggu belakangan ini pencernaanku ga bagus dan makin parah dalam satu minggu kem...

Tentang Puisi Rumah Ibadah Tua

 Maaf lama ga muncul dan memposting apa-apa , selama 2 minggu belakangan ini pencernaanku ga bagus dan makin parah dalam satu minggu kemarin jadi rajin bolak-balik toilet dan badan lemas. Oke kali ini aku akan membahas puisi terakhir yang ku , Rumah Ibadah Tua.

 Dulu semasa kecil pada hari biasa aku pernah diajak seorang biarawati untuk berdoa di sebuah gereja yang pertama ada dan  sudah cukup tua di sebuah kota. Ini kali pertama pengalaman ku berdoa. Jadi ceritanya masuklah kami kegereja tersebut. Suasana yang kurasakan sangat tenang, langit-langit ramai suara burung gereja, ruangan yang remang-remang karena pencahayaan yang redup oleh lampu-lampu tua, dan di altar tampak indah dengan hiasan cahaya lilin, kursi-kursi panjang untuk umat yang terbuat dari kayu yang tua namun masih tetap kuat. Semua tampak sederhana, namun aku dapat berlutut lama, memejamkan mata, berdoa sekaligus menikmati suasana dalam gereja ini selama mungkin (Sehabis itu, saat berdiri dengkul bergetar karena terlalu lama berlutut di kayu yang tanpa busa.)

 Pada hari Minggu, karena merupakan gereja pertama, maka banyak umat dari berbagai penjuru datang untuk beribadah. Mereka yang hadir mayoritas adalah keluarga-keluarga baru yang sederhana, mereka yang baru memulai karir dikota tersebut, mereka yang pendatang dan karena kemajemukan sukunya sangat akrab satu sama lain walau tidak saling mengenal.

 Disamping gereja tersebut ada sebuah gereja lainnya, umat yang berbeda, tata cara ibadah yang berbeda dan latar belakang yang berbeda pula. Gereja tetaplah gereja, sebuah bangunan dan yang melakukan interaksi adalah umatnya, maka kerap karena satu atau dua hal terjadi selisih paham antar kedua gereja tersebut.

 Lambat laun karena semakin banyaknya umat di gereja tersebut, maka dibangunlah gereja-gereja beraliran sama dengan gereja pertama tersebut di banyak tempat agar umat tetap dapat beribadah dekat dengan daerah dimana ia tinggal. Lalu umat di sekitar gereja pertama tersebut lambat laun naik taraf hidupnya walau ada juga mereka-mereka yang tetap berada pada derajat sosial di bawah.

 Suatu hari gereja disamping gereja pertama tersebut melakukan renovasi besar-besaran sehingga bangunan gereja tersebut menjadi tinggi dan tampak mewah sedang gereja pertama masihlah tetap bangunan tua saat pertama kali aku berdoa disana. Taraf hidup yang semakin baik ditambah selisih paham yang kerap terjadi di antara gereja tersebut membuat adanya kecemburuan sehingga timbul inisiatif dari umat-umat gereja pertama tersebut untuk merenovasi gereja pertama.

 Lalu sekitar 15 tahun setelah saat dimana aku pertama kali berdoa di gereja pertama, kini gereja pertama menjulang tinggi dan mewah tampak bersaing dengan gereja disampinggnya. Suasana tenang khas gereja tua sirna sudah digantikan dengan interior mewah dan lampu-lampu kristal yang membuat ruangan kini terang benderang. Tidak ada lagi paduan suara burung gereja dilangit-langit, semua sudah jauh berbeda. Ditambah hiasan cerita-cerita tidak mengenakkan yang terjadi pada acara-acara di gereja tersebut. Gereja tetaplah gereja, sebuah bangunan dan yang melakukan interaksi adalah umatnya, umat tampak akrab diantara golongannya dan nasib sial tetaplah milik mereka yang dari kalangan bawah, mereka yang kerap dikucilkan. 

 Ada sebuah kerinduan akan rumah ibadah tua yang dulu, sehingga aku membuat puisi ini yang ingin menyampaikan bahwa sebuah rumah ibadah memiliki nyawa dengan suasana yang dimilikinya, dengan segala kerendahan hatinya, bukan karena gengsi dan kesombongan dari setiap umatnya yang membuat rumah ibadah tersebut hanyalah sebuah bangunan dan kelak ketika tulisan ini dibaca oleh banyak orang, maka tulisan ini akan menjadi sebuah cerita dusta hasil karanganku.

(Richard Stevanus Sitio)


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.